Minggu, 27 Maret 2011

MANAJEMEN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI SEKOLAH


 MANAJEMEN  PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN YANG MENGACU PADA STANDAR PELAYANAN MINIMAL DAN MINDSET BERKEMBANG

        Oleh : PaSya’roni


PENDAHULUAN

          Murgatroyd dan Morgan (1994) menyatakan bahwa fokus mutu bagi pelanggan adalah hal yang mengantarkan pada perkembangan batang tubuh teori, alat, dan aplikasinya didalam dunia manajemen. Bennet dkk. (1992) menghindari untuk mendefinisikan dan mengkonseptualisasikan Total Quality Management (TQM) karena tidak satupun teori TQM yang bisa dianggap satu-satunya. karena itu mereka mengidentifikasi prinsip-prinsip mendasar dengan memadukan hal-hal yang dianggap penting (kunci) yang tidak boleh tidak (seharusnya) pada awal dikembangkannya TQM, seperti: (1) definisi kualitas lebih mengacu pada konsumen, bukan pada pemasok, (2) konsumen adalah seseorang memperoleh produk atau layanan, seperti mereka yang secara into mal dan eksternal terkait dengan organisasi dan bukannya yang hanya menjadi “pembeli” atau “pembayar”, (3) mutu harus mencukupi persyaratan kebutuhan, persyaratan, dan standar, (4) mutu dicapai dengan mencegah kerja yang tidak memenuhi standar, bukannya dengan melacak kegagalan melainkan dengan peningkatan layanan dan produk yang terus menerus, (5) peningkatan mutu dikendalikan oleh manajemen tingkat senior, namun semua yang terlibat di dalam organisasi harus ikut bertanggung jawab; mutu harus dibangun di dalam setiap proses, (6) mutu diukur melalui proses statistik, anggaran mutu adalah anggaran (biaya) yang tidak disesuaikan dengan tuntutan persyaratan, sehingga terjadi “kesenjangan” antara dugaan dan penyerahan barang, (7) alat yang paling ampuh untuk menjamin terjalinnya mutu adalah kerjasama (tim) yang efektif, dan (8) pendidikan dan pelatihan merupakan hal fundamental terhadap organisasi yang bermutu. Di bidang pendidikan, manajemen peningkatan mutu dapat didefinisikan sebagai sekumpulan prinsip dan teknik yang menekankan bahwa peningkatan mutu harus bertumpu pada lembaga pendidikan untuk secara terus menerus dan berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasinya guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Di dalam Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) terkandung upaya: (1) mengendalikan proses yang berlangsung di lembaga pendidikan/sekolah baik kurikuler maupun administrasi, (2) melibatkan proses diagnosis dan proses tindakan untuk menindaklanjuti diagnosis, dan (3) peningkatan mutu harus didasarkan atas data dan fakta, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (4) peningkatan mutu harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, (5) peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di lembaga pendidikan, dan (6) peningkatan mutu memiliki tujuan yang menyatakan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada peserta didik, orang tua dan masyarakat.
     Sejak diberlakukannya otonomi daerah (otda), muncul banyak masalah seperti makna otonomi kurang dihayati dan diterapkan sebagai tercapainya demokrasi, kemandirian, dan pemberdayaan, tetapi lebih terfokus pada proses interaksi politik. Wujudnya adalah tarik-menarik kepentingan antara pusat ­daerah, provinsi-kabupaten/kota, dan kabupaten/kota-kabupaten kota, baik dalam lingkup eksekutif maupun legislatif UU RI No. 22 Tahun 1999, dan UU RI No.25 Tahun 1999 direvisi menjadi UU RI No. 32 Tahun 2004 dan UU RI No. 33 Tahun 2004, baik dalam kaitannya dengan Pemerintah Daerah maupun Perimbangan Keuangan antara Pusat-Daerah mewujudkan gejala tersebut. Revisi ini pun akan menimbulkan masalah baru karena sosialisasinya terlalu cepat dan singkat serta belum siapnya perubahan pola pikir (mindset) menuju tatanan pemerintahan yang disepakati. Tentu saja revisi tersebut memiliki dampak positif dan negatif.
     Masalah baru tersebut, yaitu (1) perubahan kedudukan kabupaten/kota dari otonomi menjadi bagian provinsi, (2) perubahan DPRD dari badan legislatif menjadi unsur pemda, (3) perubahan peran DPRD dalam pemilihan kepala daerah langsung dari menentukan pilihan menjadi penonton, (4) RAPBD Kabupaten/Kota dapat “dianulir” provinsi, (5) perubahan Badan Perwakilan Desa dari “DPR-nya desa” menjadi Badan Permusyawaratan Desa, (6) perubahan 11 urusan diserahkan ke kabupaten/kota menjadi adanya urusan wajib dan urusan pilihan yang penyerahannya pun harus memenuhi persyaratan tertentu, dan (7) perubahan jabatan sekretaris desa menjadi jabatan PNS.
          Otonomi daerah telah dimulai sejak 1 Januari 2001. Sejalan dengan reformasi dan demokratisasi pendidikan yang sedang bergulir, pemerintah telah bertekad bulat untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan yang bertumpu pada pemberdayaan sekolah di semua jenjang pendidikan.
          Tujuan otda di bidang pendidikan antara lain (1) meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih dekat, cepat, mudah, murah, dan sesuai kebutuhan masyarakat dengan menekankan pada prinsip demokratis dan berkeadilan, tidak  diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa (memperhatikan potensi dan keaneka­ragaman daerah), sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; (2) pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat; (3) memberikan keteladanan, membangun kemauan; (4) mengembangkan kreativitas peserta didik, (5) mengembangkan budaya membaca, menulis, berhitung, dan memberdayakan seluruh komponen masyarakat (peran serta masyarakat); (6) pemerataan dan keadilan; (7) meningkatkan kesejahteraan pendidik dan tenaga ; kependidikan; (8) akuntabilitas publik; (9) transparansi; (10) memperkuat ; integritas bangsa (memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI); (11) meningkatkan daya saing di era global. Jika tujuan ini tercapai maka hal-hal inilah yang menjadi dampak positif otda terhadap input pendidikan.


CHANGE YOUR  MINDSET  CHANGE YOUR LIFE
JENIS-JENIS MINDSET :                                                   
a.       Mengapa manusia berbeda-beda ? Perbedaan itu disebabkan apa?
Ada 2 pendapat :
1.      Karena tonjolan-tonjolan dalam tengkorak  → DITOLAK
2.      Karena perbedaan latar belakang, pengalaman, pelatihan dan cara-cara belajar manusia → Tokoh : ALFRED BINET; pencipta TES IQ. (Perancis, awal abad 20) → awal cerdas tidak selalu cerdas akhirnya.
ROBERT STENBERG → Faktor terpenting yang menentukan seseorang mencapai keahlian tertentu bukan terletak pada kemampuan yang melekat sebelumnya tetapi PERGULATAN DENGAN MAKSUD YANG JELAS.
b.      2 Jenis MINDSET
1.      Mindset TETAP (FIXED MINDSET)
2.      Mindset BERKEMBANG (GROWTH MINDSET)
c.       Pandangan dari 2 MINDSET
1.      Mindset Tetap → Apatis, mudah kecewa, ngedumel, memberi label pada diri  sendiri, berpikir negative, putus asa → Tidak ada usaha tidak ada kerugian.
2.      Mindset BERKEMBANG → Optimis, belajar dan bekerja keras, berpikir positif → Harus usaha  → RESIKO dan TANTANGAN.
d.      Wawasan Diri 
1.      Mindset TETAP                : Menilai terlalu buruk pada kinerja dan kemampuan    diri.
2.      Mindset BERKEMBANG : Memiliki bakat khusus untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan diri sendiri (HOWARD GARDNER). Memberi keberanian untuk meraih tujuan-tujuan dan mimpi-mimpi juga memberi cara untuk mewujudkannya.


LANDASAN TEORI

          Wawasan tentang manajemen peningkatan mutu seharusnya dikaji dengan membandingkan karakteristik antara manajemen tradisional dengan manajemen peningkatan mutu atau TQM. Cole (dalam A. Sonhadji, 1999) mengemukakan setidak-tidaknya terdapat sepuluh hal yang membedakan keduanya. Tabel berikut ini menunjukkan perbedaan tersebut.
Tabel 1  Komparasi antara Manajemen Tradisional dan Manajemen Peningkatan Mutu (MPM), (diadopsi dari A. Sonhadji (1999)

Manajemen Tradisional
Manajemen Peningkatan Mutu (MPM)
1.    Mencari pemecahan secara “cepat-tepat”.
1.    Mengadopasi filosofi manajemen modern.
2.    Menggunakan metode “pemadam kebakaran”.
2.    Menggunakan metode terstruktur dan pengoperasian yang disiplin.
3.    Mengadopasi upaya peningkatan secara acak.
3.    Memberi contoh melalui kepemimpinan.
4.    Mengoperasikan dengan cara lama.
4.    Menggunakan “terobosan berpikir” dengan inovasi baru.
5.    Memfokuskan pada jangka pendek.
5.    Menekankan pada peningkatan berkelanjutan jangka panjang.
6.    Memeriksa kesalahan
6.    Mencegah kesalahan dan menekankan kualitas desain.
7.    Menentukan penggunaan opini.
7.    Menentukan penggunaan fakta.
8.    Menempatkan sumber daya pada tugas.
8.    Menggunakan manusia sebagai faktor utama menambah nilai.
9.    Termotivasi oleh keuntungan.
9.    Memfokuskan pada kepuasan pelanggan.
10.  Menggantungkan pada kelancaran program.
10.  Membangun cara hidup baru.

          Secara singkat kesepuluh perbedaan itu dapat diringkas sebagai berikut: (1) cara mencari pendekatan pemecahan masalah, (2) metode yang digunakan, (3) penggunaan inovasi, (4) upaya peningkatan, (5) jangka waktu yang difokuskan, (6) cara memperlakukan kesalahan, (7) penggunaan opini vs fakta, (8) penekanan sumber daya, (9) motivasi peningkatan kualitas, dan (10) arah pengembangan.
          Berdasarkan perbedaan di atas, A. Sonhadji (1999) selanjutnya mengklarifikasikannya dengan mengemukakan bahwa manajemen tradisional berusaha memecahkan masalah secara cepat-tepat dalam arti mementingkan pemecahan segera mungkin, sedangkan manajemen peningkatan mutu menekankan pemecahan masalah itu dengan menggunakan dasar filosofi manajemen modern yang lebih mendalam. Ditinjau dari metodenya, manajemen tradisional menggunakan metode pemadaman kebakaran, yaitu metode yang mengandalkan ketangkasan pelaksanaan dan sangat tergantung pada kondisi lapangan. Sebaliknya, MPM menggunakan metode terstruktur dengan operasi berdisiplin secara cermat. Dalam MPM digunakan berbagai teknik untuk mengukur kualitas, seperti diagram alir (flow charts), analisis kapasitas (capacity analyses), diagram kegiatan (run charts) dan matriks.

          Perbedaan ketiga terletak pada intensitas upaya peningkatan mutu. Dalam hal ini, manajemen tradisional melakukannya secara acak, sedangkan MPM selalu memberikan contoh secara utuh melalui proses kepemimpinan. Dalam hal ini, kepemimpinan dianggap sebagai faktor utama dalam melakukan perubahan, karena kepemimpinan dapat mempengaruhi seluruh fungsi organisasi. Kepemimpinan adalah proses yang mempengaruhi dan melibatkan penentuan tujuan organisasi atau kelompok, memotivasi perilaku tugas untuk mencapai tujuan tersebut, dan mempengaruhi kelangsungan dan budaya kelompok.
          Dalam banyak hal, manajemen tradisional sering menggunakan paradigma lama dalam membuat kepuasan. Sementara itu, MPM memanfaatkan hasil inovasi-inovasi baru dalam menentukan tindakannya. Pengendalian kualitas tradisional lebih diarahkan pada mekanisme defensif, yang cenderung berusaha mengurangi kegagalan atau mengeliminasi deteksi. Hal ini berbeda dengan MPM yang selalu memajukan metodologi pengendalian mutu dan mengembangkan teori dan teknik baru dalam meningkatkan mutu.
          Dapat dimengerti apabila MPM menggunakan model perencanaan strategik dalam memformulasikan strateginya, karena MPM berorientasi pada strategi jangka panjang. Model ini secara spesifik disebut perencanaan kualitas strategik (strategic quality planning). Perencanaan strategik memiliki peran simulasi dan stimulasi. Perencanaan strategik memuat stimulasi masa depan yang diinginkan dan sekaligus pula merupakan stimulasi bagi eksekutif untuk bertanggung jawab melaksanakan rencana yang telah disusun secara efektif.
          Manajemen tradisional cenderung menggunakan pendekatan inspeksi terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi, kemudian berupaya melakukan koreksi. Hal ini, berbeda dengan MPM yang berusaha mencegah kesalahan dan mencapai tingkat kualitas tertentu, sejak perencanaan sampai dengan implementasinya secara terus-menerus.

BEBERAPA KOMPONEN PENUNJANG MANAJEMEN
PENINGKATAN MUTU (MPM)

          Manajemen peningkatan mutu mempersyaratkan integrasi dari berbagai faktor yang perlu diintegrasikan. Faktor itu adalah klien (pelanggan), kepemimpinan, tim, proses, dan struktur.
          Pelanggan atau klien. Dalam organisasi MPM pelanggan atau klien adalah seseorang atau kelompok yang menerima produk atau jasa layanan. Jadi, klien tidak berada secara eksternal terhadap organisasi tetapi berada pada setiap tahapan yang mempersyaratkan penyempurnaan hasil sebuah produk atau pemberian layanan. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat mata rantai dari klien, yang keterkaitannya bersama dengan proses. Manajemen mutu mempersyaratkan organisasi melakukan penggalian dengan bertanya atau mendengarkan, yang tentunya kepada klien yang tepat. Dalam hal ini diperlukan umpan balik yang pasti untuk menjamin bahwa layanan yang dikerjakan memang tepat. Hal-hal yang tercakup di dalam MPM terhadap pelanggan adalah nilai-nilai organisasi, visi, dan misi yang perlu dikomunikasikan, yang dikerjakan dengan memperhatikan etika dalam pengambilan keputusan dan perencanaan anggaran.
          Kepemimpinan. Jika integritas moral merupakan hal yang fundamental bagi MPM, maka kepemimpinan merupakan cara mengerjakannya. Kepemimpinan dalam konteks MPM adalah menetapkan dan mengendalikan visi. MPM secara tajam menggambarkan perbedaan antara memimpin, memanaj, dan mengadministrasikan. Mutu kepemimpinan mencukupi : visi, kreativitas, sensitivitas, pemberdayaan (empowerment), manajemen perubahan. Pemimpin dalam MPM pada dasarnya peduli dengan nilai-nilai dan orang, menetapkan arah dan mengijinkan orang untuk mencapai target, yang berhubungan dengan hal­-hal makro maupun mikro. Isu dalam pendidikan adalah sejauh mana kepemimpinan dibedakan dad manajemen dan administrasi.
          Tim. Sebuah tim merupakan kualitas kelompok. Hampir semua kepustakaan menekankan pentingnya kejelasan tujuan dan hubungan interpersonal yang efektif sebagai dasar terjadinya kerja kelompok yang efektif. Baik secara teoretik maupun praktek tim dipandang sebagai hal yang fundamental terhadap manajemen mutu di dalam organisasi.
          Proses. Kunci penting dalam manajemen mutu adalah menetapkan komponen proses kerja. Pada dasarnya, sekali klien menetapkan persyaratan yang telah disepakati, maka hal penting untuk dilakukan adalah menetapkan proses dan prosedur yang menjamin kesesuaiannya dengan persyaratan.
          Struktur. Organisasi yang mencoba memperkenalkan MPM tanpa meninjau strukturnya mungkin akan menghadapi kegagalan. Beberapa organisasi memiliki struktur yang berfokus pada klien cenderung mendasarkan diri pada hirarki formal sekaligus membatasi kerja praktis yang berfokus. Misalnya: organisasi secara utuh memiliki “kedekatan” dengan klien, pemasok berbicara langsung dengan klien.

TEKNIK MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU
          Dikmenum Depdikbud (1998/1999) mengedepankan empat teknik MPM, yaitu : (a) School Review, (b) Benchmarking, (c) Quality Assurance, dan (d) Quality Control.
          School Review adalah proses mengharuskan seluruh komponen sekolah bekerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki keterkaitan misalnya orang tua dan tenaga profesional untuk mengevaluasi keefektifan kebijakan sekolah, program dan pelaksanaannya, serta mutu lulusan. Dengan school review diharapkan akan dapat dihasilkan laporan yang dapat membeberkan kelemahan-kelemahan, kekuatan, prestasi sekolah, dan memberikan rekomendasi untuk penyusunan perencanaan strategis pengembangan sekolah di masa mendatang, yang berjangka sekitar tiga atau empat tahun mendatang.
          Benchmarking merupakan kegiatan untuk menetapkan standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu.
          Quality Assurance sifatnya process oriented. Artinya, konsep ini mengandung jaminan bahwa proses yang berlangsung dilaksanakan sesuai dengan standar dan prosedur yang telah ditetapkan. Dengan demikian, dapat diharapkan hasil (output) yang memenuhi standar yang ditentukan pula. Agar proses berlangsung sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka perlu dilaksanakan audit atau pengecekan secara berkesinambungan. Sistem audit ini harus dilembagakan, sehingga menjadi subsistem sekolah. Sub sistem inilah yang disebut quality assurance. Untuk itu, perlu disusun suatu prosedur dan mekanisme, sehingga checking dapat dilaksanakan secara menyeluruh untuk semua komponen dalam sekolah. Hasil pengecekan merupakan balikan (feedback) bagi sekolah, yang digunakan untuk meningkatkan mutu proses pendidikan. Dengan quality assurance ini pihak sekolah meyakinkan orang tua dan masyarakat bahwa sekolah selalu memberikan layanan yang terbaik bagi para peserta didiknya. Jadi, quality assurance adalah suatu sub sistem dari suatu sekolah yang bertujuan untuk: (a) membantu sekolah dalam menilai dan mengkaji pelaksanaan serta hasil pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu proses belajar mengajar, (b) menilai program-­program yang relevan, yang dapat membantu sekolah, dan (c) memperkuat akuntabilitas dan mutu lulusan sekolah.
          Quality Control. Merupakan suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas out-put yang tidak sesuai dengan standar. Konsep ini berorientasi pada output untuk memastikan apakah mutu out-put sesuai dengan standar. Oleh karena itu, konsep ini menuntut adanya indikator yang pasti dan jelas.
          Murgatroyd dan Morgan (1994) mengungkapkan tiga teknik mendasar dalam menetapkan mutu, yaitu (a) quality assurance, (b) contract conformance, dan (c) customer-driven.
          Quality Assurance mengacu pada penetapan standar, metode yang memadai, dan tuntutan mutu oleh suatu kelompok/lembaga para pakar yang diikuti oleh proses pengawasan dan evaluasi dan yang memeriksa sejauh mana pelaksanaannya memenuhi standar yang telah ditetapkan. Hal penting dalam proses quality assurance ini adalah publikasi dari standar yang ditetapkan itu.
          Contract Conformance. Mutu standar harus ditetapkan secara spesifik melalui negosiasi dalam bentuk sebuah kontrak. Mutu harus dilihat apakah punya kesesuaian dengan komitmen yang spesifik tersebut. Yang membedakan antara quality assurance dengan contract conformance adalah bahwa spesifikasi mutu dibuat oleh orang yang membuat tugas kerja (lokal), bukan oleh panel (jajaran para pakar).
          Customer-driven Quality mengacu pada pemikiran mutu dari mereka yang menerima produk atau layanan. Produk atau layanan yang diberikan harus sesuai dengan harapan dan kualitasnya ditentukan oleh klien. Produk atau layanan harus disesuaikan dengan tuntutan dan harapan para klien.
          MPM yang efektif perlu juga memperhatikan beberapa hal yang mempengaruhi mutu yang dikemukakan oleh Murgatroyd dan Morgan (1994) sebagai "3 Cs of TQM", yaitu: culture, commitment, dan communication.
          Budaya yang dimaksudkan di sini meliputi aturan-aturan, asumsi-­asumsi, dan nilai-nilai yang mengikat kebersamaan dalam organisasi. Keberhasilan MPM dari suatu organisasi ditentukan bagaimana organisasi menciptakan budaya, seperti: (a) inovasi dipandang bernilai tinggi, (b) status dinomor6uakan, yang dipentingkan adalah performansi dan kontribusi, (c) kepemimpinan adalah sebuah kunci dari kegiatan/tindakan, bukan posisi, (d) ganjaran dibagi rata melalui kerja tim, (e) pengembangan, belajar dan pelatihan dipandang sebagai sarana penunjang, dan (f) pemberdayaan untuk mencapai tujuan yang menantang didukung oleh pengembangan yang berkelanjutan dan keberhasilan seharusnya merupakan iklim untuk memotivasi diri sendiri.
          Keberhasilan MPM suatu organisasi seharusnya melahirkan rasa kebanggaan dan kesempatan untuk berkembang bagi orang-orang di dalamnya (staf dan klien) sehingga mereka merasa sebagai pemilik (ikut memiliki) perwujudan tujuan organisasi bersama dan di antara semua karyawan. Komitmen berarti juga keterlibatan menanggung akibat dalam pencapaian tujuan, menuntut kerja yang sistematik, meneruskan informasi mengenai adanya kesempatan untuk melakukan inovasi dan pengembangan. Komitmen sifatnya normatif.
          Komunikasi di antara anggota tim memiliki kekuatan, walaupun sederhana tetapi efektif. Komunikasi harus didasarkan pada kenyataan dan pengertian yang murni, bukannya asumsi apalagi yang sifatnya humor. Komunikasi memiliki alur yang bebas dalam organisasi.

     STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)
          Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan pemerintah pusat untuk menetapkan kebijakan tentang perencanaan nasional yang menjadi pedoman atau acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di provinsi, kabupaten/ kota sebagai daerah otonom. Dalam rangka standardisasi itulah, maka Mendiknas menerbitkan Kepmen No. 053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.
          Isi SPM tersebut adalah Pedoman SPM Penyelenggaraan TK, SD, SMP. SMA, SMK, dan SLB.
          Isi SPM untuk SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB sebagai berikut.
1.    Dasar hukum
2.    Tujuan penyelenggaraan sekolah
3.    Standar kompetensi
4.    Kurikulum
5.    Peserta didik
6.    Ketenagaan
7.    Sarana dan prasarana
8.    Organisasi
9.    Pembiayaan
10.  Manajemen
11.  Peran serta masyarakat

Pedoman administrasi Sekolaah Menengah Pertama berisikan.
1.  Pendahuluan (latar belakang, tujuan, pendekatan, dan ruang lingkup).
2.  Organisasi sekolah (struktur, fungsi dan tugas, mekanisme hubungan kerja, dan alur kerja).
3.  Penyelenggaraan administrasi sekolah (pengertian, tujuan, dan ruang lingkup).
4.  Komponen administrasi (kurikulum, kesiswaan, tenaga kependidikan, sarana, persuratan dan kearsipan, dan peran serta masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN
          Manajemen Peningkatan Mutu walaupun agak bersifat filosofis, namun mengandung makna prinsip mendasar yang mengarahkan peningkatan organisasi berkelanjutan. MPM mengintegrasikan teknik-teknik manajemen yang mendasar, menghadirkan upaya-upaya peningkatan, dan peralatan teknis melalui pendekatan yang ketat yang mengarah pada peningkatan yang berkelanjutan. Konsep kualitas menurut Dean & Evans adalah "meeting or exceeding customer expectations". Karena itu makna kualitas adalah bagaimana pelanggan menerima barang yang bermutu itu dengan perasaan puas dan senang sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal.
          Dalam usaha peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh maka dibutuhkan perencanaan dan kepemimpinan (Kepala Sekolah) yang matang yang dapat mengarahkan organisasi sekolah pada suatu bentuk kualitas ideal yang diharapkan. Yaitu usaha yang terus menerus untuk menciptakan kompetensi lulusan yang lebih baik serta kerjasama yang kompak (teamwork), baik secara internal organisasi sekolah maupun dengan pihak-pihak di luar sekolah. Karena itulah, pelatihan tentang kegiatan yang berhubungan dengan kualitas seharusnya diberikan kepada semua jajaran karyawan, tata usaha dan dewan guru agar semua orang di dalam organisasi sekolah yang sama memiliki persepsi yang sama pula mengenai Standar Pelayanan Minimal Sekolah.
          Kepala Sekolah yang memiliki mindset berkembang akan senantiasa mengawali langkahnya dengan kepercayaan terhadap potensi dan perkembangan positif warga sekolahnya sehingga tumbuh rasa percaya diri yang sejati yaitu keberanian untuk terbuka menerima perubahan serta gagasan-gagasan baru dari manapun asalnya. Sebagai kepala sekolah misi kita adalah mengembangkan potensi rekan-rekan yang berada di bawah tanggungjawab kita. Mereka sangat mengharapkan penghormatan dan kesempatan latihan serta bimbingan untuk berkembang. Hendaknya kita dapat menggunakan semua pelajaran dari mindset berkembang ini serta melakukan apapun yang kita bisa sebagai upaya menuju peningkatan mutu pendidikan.
Mari gunakan mindset berkembang kita. Alih-alih menuntut pertandingan tanpa kesalahan, tuntutlah komitmen penuh dan kerja keras. Alih-alih menghakimi pemain, berilah mereka penghormatan dan latihan yang mereka butuhkan untuk berkembang.Sebagai orang tua, guru, dan bahkan Kepala Sekolah misi kita adalah mengembangkan potensi orang-orang yang ada di bawah tanggung jawab kita. Marilah kita semua menggunakan pelajaran-pelajaran dan hikmah dari mindset berkembang ini. Apapun yang kita bisa – untuk menjalankan mindset berkembang ini !

 DAFTAR PUSTAKA

A. Sonhadji K. Hasan.1999. Penerapan Total Quality Management dan ISO 9000 dalam Pendidikan Teknik dalam Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid I No.6 ISSN 0215-9643. Malang: IKIP, STKIP dan FKIP.

Abd. Karim Masaong. 2004. Keterkaitan antara Semangat Kerja Guru dengan Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Juli. Tahun Ke-10, No. 049: hlm.343.

Abretch. K. 1988. At America's Service. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin.

Achmad Supriyanto & Zaini Rohmad. 2002. Pengembangan dan Implementasi TQM pada Sistem Layanan Akademik. Jurnal Ilmu Pendidikan. Februari, Jilid 9, Nomor l:hlm.79-80.

Aliyah, A. Rasjid. 1995. Profil Motivasi Karyawan IKIP Yogyakarta. Abstrak Hasil Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

A.M. Dewabrata. 2005. Rakyat Ditogogkan. Kompas, 28 Maret, hlm.4.

Anderson, Terry D. 1998. Transforming Leadership. New York Washington, D.C: St. Lucie Press.

Anen, T. 2000. Pelaksanaan Penyusunan Rencana Pembangunan Pendidikan Nasional. Jakarta: Biro Perencanaan Depdiknas.

Antaraman: V 1984. Teambuilding, Human Resources Management. Singapore: Singapore University Press.

Bennet, Nigel; Crawford, Megan dan Riches, Collin. 1992. Managing Change in Education: Individual and Organization Perspectives. London: Paul Chapman Publishing Co.

Dikmenum Depdikbud. 1998/1999. Manajemen Peningkatan Mutu dalam Suplemen 2 Pelatihan Kepala Sekolah Menengah Umum. Jakarta: Depdikbud.

Murgatoyd, Stephen dan Morgan, Collin. Total Quality Management and the School. Buckingham: Open University Press.

Ross, Jeol E. 1995. Total Quality Management : Text, Cases and Readings. Singapore: St. Lucie Press.
Universitas Kristen Petra. 1997. Total Quality Management untuk Pendidikan Tinggi. Seminar Sehari. Surabaya.

Sabtu, 12 Maret 2011

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVIS DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI BLOG SEBAGAI PENUNJANG MEDIA BELAJAR

(Suatu upaya meningkatkan kebermaknaan, efisiensi serta efektifitas pamahaman matematika bagi siswa)
Oleh : AHMAD SYA’RONI

Teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini sangat mempengaruhi perubahan gaya belajar masyarakat pada umumnya dan siswa-siswa kita pada khususnya. Perkembangan teknologi informasi yang telah banyak menyediakan banyak aplikasi membuat sebagian besar dari kita memanfaatkannya untuk berbagai macam keperluan. Teknologi dapat dianalogikan sebagaimana mata pisau yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik maupun yang buruk sekalipun. Kenyataan bahwa teknologi juga membawa dampak buruk pada anak-anak kita. Hal ini masih sering kita lihat anak didik kita bolos sekolah dan tidak mau masuk sekolah dengan kongkow-kongkow di Play Station atau Game Online lainnya yang hanya disebabkan karena pembelajaran di sekolah tidak menyenangkan. Guru sering menggunakan metode stres dan sangat membosankan siswa.
Sementara itu kita lihat pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia sejak tahun 1995 sampai sekarang ini tercatat peningkatan yang luar biasa. Bahkan dengan munculnya Broadband Satelit sangat memudahkan banyak pengguna internet di seluruh Indonesia untuk mendayagunakannya. Beberapa negara saat ini juga telah mengembangkan perusahaan listrik sebagai sarana penunjang akses internet yang lebih cepat dan jauh lebih murah. Menurut saya ini merupakan peluang yang mestinya dapat kita manfaatkan untuk peningkatan kualitas dan efektifitas pembelajaran kita.
Banyak penelitian yang menyimpulan bahwa pembelajaran konstruktivis dapat meningkatkan kebermaknaan pemahaman matematika bagi siswa. Demikian juga telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa pembelajaran secara konstruktivis lebih efektif dari pada pembelajaran secara tradisional. Model pembelajaran yang tidak menyenangkan yang kadang muncul disebabkan karena kita tidak bisa ataupun tidak mau mengikuti keadaan perkembangan serta kemauan anak didik kita. Seringkali kita disebut guru jadul karena tidak mau atau tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi dan kemauan siswa terkini. Hal inilah yang mungkin menjadikan siswa kita kurang bersemangat dalam belajar, kehadiran kita di kelas sangat tidak diinginkan yang pada akhirnya berakibat turunnya hasil belajar mereka.
Sebagai seorang guru matematika yang baik dan bertanggungjawab, jika kita menemukan siswa kita mengalami kesulitan dalam memahami suatu topik matematika, sebaiknyalah hal tersebut segera diatasi. Jika tidak, pemahaman yang kurang baik tersebut mengakibatkan tidak tuntasnya pemahaman topik lain yang yang mempunyai prasarat topik tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudoyo (1998:6) bahwa ” mempelajari konsep X yang didasari konsep Y, seseorang perlu memahami lebih dulu konsep Y. Tanpa memahami konsep Y tidak mungkin orang itu memahami konsep X. Ini berarti, mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang telah lalu”. Prof Kethut Budayasa juga menyatakan bahwa ”Siswa berhasil dalam mempelajari suatu konsep, jika mereka dapat menghubungkan dengan konsep yang telah dipelajari atau telah dikenal sebelumnya”. Dengan kata lain bahwa pemahaman terhadap suatu konsep dapat terbentuk jika konsep itu dihubungkan dengan konsep yang telah diketahui sebelumnya.
Dari hasil diskusi dengan MGMP Matematika Kota Surabaya Tahun 2010, terungkap bahwa dalam pembelajaran Matematika yang selama ini diterapkan oleh guru adalah ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas. Guru menjelaskan suatu topik matematika, kemudian menanyakan apakah siswanya ada yang merasa kesulitan. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan memberi tugas berupa soal-soal latihan dari buku atau soal buatan guru yang ditulis di papan tulis untuk dikerjakan siswanya. Diakui bahwa guru hanya mengejar target kurikulum, yang kadang-kadang hanya menuangkan materi pelajaran kepada siswanya tanpa memperhitungkan apakah siswanya mempelajari materi tersebut secara bermakna atau tidak.
Hasil diskusi dengan MGMP Matematika Kota Surabaya tersebut diperkuat dari hasil observasi penulis pada pembelajaran matematika di salah satu SMP di Surabaya pada tanggal 25 Nopember 2010, yang hasilnya sebagai berikut :
1. Guru terkesan mendominasi kelas.
2. Guru mengajar tanpa pemanasan.
3. Dalam meminta siswa untuk mengerjakan soal, guru langsung menyebut nama siswa tertentu, umumnya tanpa memberi waktu lebih dulu kepada seluruh siswa.
4. Guru meminta siswa memberi jawaban PR secara lisan, guru yang menuliskan di papan.
5. Guru mengajar secara prosedural, sering mengatakan ”ingat, rumusnya apa?”
6. Guru terkesan memberitahukan informasi kepada siswa, tanpa menggali apa yang sudah dipahami siswa.
7. Jika siswa bertanya, guru langsung menjawabnya tanpa memberi kesempatan kepada siswa lain untuk berpikir dan menjawab pertanyaan temannya tersebut.
8. Guru mengelilingi kelas, tetapi terkesan hanya berkeliling tanpa melihat apa yang sedang dikerjakan siswa.
9. Jika siswa ditanya ”Apakah sudah jelas?” dan siswa menjawab ”sudah”, guru umumnya langsung percaya tanpa mengecek kembali jawaban siswa.
10. Guru kurang memberi umpan balik jawaban siswa. Jika ada siswa yang mempunyai jawaban lain selain yang dikerjakan oleh siswa di papan tulis (jawaban di papan tulis benar) gurun terkesan meremehkan jawaban selain di papan tulis tersebut.
Hasil observasi ini sesuai dengan hasil penelitian Romberg (1985 dalam Rombeg an Carpenter,1998) bahwa peran guru di kelas tradisional adalah manajerial dan prosedural, sebagaimana berikut ini. ”Pekerjaan mereka adalah memberi pelajaran di kelas-kelas, memulai dan mengakhiri sesuai jadwal, menjelaskan aturan dan prosedur setiap pelajaran, dan memelihara urutan dan mengontrol dengan seksama”. Padahal dalam penelitian-penelitian terkini ditemukan bahwa perolehan pengetahuan siswa tidak hanya sebagai ”penyerapan” informasi apa yang orang lain kerjakan, tetapi lebih sebagai pengkonstruksian pengalaman siswa sendiri dengan cara bermakna (Romberg dan Carpenter, 1998).
Dari hasil diskusi dan observasi tersebut juga terungkap bahwa guru belum pernah mencobakan pendekatan pembelajaran selain ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas. Sementara itu teknologi internet memberikan peluang serta kesempatan pertukaran dan penggalian informasi yang luas menembus batas-batas daerah bahkan negara sebagaimana diprediksi oleh Kenichi Ohmae.
Bahwa pembelajaran menyenangkan itu tak terbatas ruang maupun waktu. Pembelajaran kotstruktivis dengan teknologi informasi blog merupakan salah satu upaya serta jawaban dari segala masalah, memenuhi keinginan siswa dengan perkembangan teknologi terkini, serta memanfaatkan peluang sedemikian hingga dapat meningkatkan kebermaknaan, efisiensi serta efektifitas pembelajaran kita.
Sebagai ujung tombak agen pendidikan kota Surabaya sudah saatnya kita coba gunakan teknologi informasi blog untuk media pembelajaran kita. Teknologi informasi telah memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di seluruh belahan dunia saat ini bahkan jauh lebih banyak dari yang bisa disampaikan oleh televisi atau media-media lainnya. Karenanya pembelajaran konstruktivis dalam matematika dengan teknologi informasi blog sebagai penunjang media belajar merupakan salah satu upaya meningkatkan kebermaknaan pemahaman matematika bagi siswa. Bila upaya ini dapat kita manfaatkan secara positif maka kesetaraan akses informasi yang ada akan semakin merata di seluruh kabupaten/ kota se-Indonesia.